Ini sebuah cerita pendek yang gua tulis berdasarkan pengalaman pribadi gua. Selamat membaca.....
Balas
Dendam Kemenangan
Madiun
2008
Teet...teet...teet...
bruk...bruk...bruk... suara bel sekolah dan suara langkah memecah keheningan
sekolahku. Sabtu pagi yang seharusnya bisa pulang cepat memaksaku harus tinggal
di sekolah untuk mengikuti ekskul. Teman-temanku yang tidak tergabung dalam ekskul
berhamburan menuju parkiran sepeda atau menghampiri orang yang menjemput
mereka.
“Ayo Gung,
langsung masuk aja biar cepat pulang.“ ajak Afif sambil menyeretku menuju kelas.
“Iya bener,
biar cepet pulang,“ jawabku sambil lari mengikuti seretan Afif.
“Satu, dua,
tiga, empat, lima......lima belas,” aku menghitung jumlah anggota ekskul.
Aku di
sekolah dipanggil dengan nama Agung. Aku adalah ketua ekskul presenter di SMPN
5 Madiun. Semakin lama semakin berkurang anggota yang mengikuti ekskul ini.
Memang ekskul yang aku ikuti ini terbilang baru dan tidak terkenal sehingga
peminatnya sedikit. Pikiranku pun melayang membayangkan aku mengikuti ekskul
lain yang lebih terkenal, basket misalnya atau pramuka. Dengan mengikuti ekskul
ini aku akan lebih terkenal, secara anak basket pasti populer di sekolah.
Pramuka juga begitu dengan banyak kegiatan aku pasti akan terkenal. Tiba-tiba
lamunanku buyar ketika ada suara seseorang yang membuka pintu kelas.
“Kreeek........”
suara pintu berdecit.
“Selamat pagi
menjelang siang anak-anak.“ sapa wanita berambut kribo yang bernama Bu Chatrine.
Bu Chatrine
merupakan pengajarku. Seperti biasa ekskul dimulai dengan latihan nafas dan
vokal. Semua anak di ruangan ini mengikuti semua instruksi dari Bu Chatrine.
Ada yang lucu dengan Bu Chatrine, dia memiliki badan yang cukup berisi dengan
rambut yang kribo, tapi tertata rapi serta tahi lalat yang terletak menghiasi hidungnya. Walaupun
demikian, dia tetap terlihat menarik dengan make up yang sederhana.
“A a a a i i i i u u u u
e e e e o o o o!” suara dari
teman-temanku mengikuti Bu Chatrine. Aku hanya mengikuti latihan nafas dan
vokal dengan malas-malasan karena pada hari itu aku benar-benar tidak sedang
mood mengikuti ekskul. Bu Chatrine menyadari dan mengahampiriku.
“Mas, kamu kenapa? Nggak suka dengan
ekskul ini?Silakan saat ini kamu keluar tidak apa-apa, kok. Tidak akan ada yang
menahanmu. Silahkan kalau mau mencari ekskul yang lain yang lebih cocok dengan
kamu,” sindir Bu Chatrine kepadaku.
“Nggak, Bu
saya lagi capek aja,” jawabku sigap.
“Ooo, capek?
Semua di sini juga capek kok, saya apalagi. Habis siaran radio terus dateng ke sini.
Habis dari sini saya harus balik lagi ke radio untuk siaran lagi dan baru pulang
ke rumah nanti habis magrib. Capek mana?” jawab Bu Chatrine kesal.
Semua
teman-temanku melihat ke arahku. Betapa malunya aku disindir habis-habisan oleh
si kribo itu. Seperti biasa aku dan teman-temanku mengambil gulungan-gulungan
kertas yang berisi sebuah tulisan yang menjadi tema untuk praktik. Aku pun
mengambil dan membuka gulungan kertas yang sudah kupilih. “Acara Talkshow“
adalah isi dari gulungan kertas itu. Dalam hatiku aku tertawa senang, aku pasti
bisa tampil bagus dengan tema ini. Seperti biasa Bu Chatrine memberikan waktu
satu jam untuk membuat poin-poin acara. Dalam waktu setengah jam aku sudah
selesai membuatnya. Aku menengok ke arah teman-temanku yang sedang bingung
mencari ide. Satu jam berlalu dan saatnya untuk perform di hadapan Bu Chatrine.
Satu per satu temanku dipanggil dan hanya tersisa aku yang terakhir. Aku
berpikir bahwa Bu Chatrine sengaja menaruhku di urutan paling belakang untuk
balas dendam. Akhirnya giliranku datang
juga. Kondisi yang kurang mood dan ditambah kesal karena diskriminatif aku pun
perform dengan seadanya.
“Prok...prok...prok...,”tepuk
tangan dari temanku. Aku sangat lega mendapat tepuk tangan dari temanku yang
aku simpulkan bahwa aku memberikan perform yang bagus. Seketika aku melihat ke
Bu Chatrine, dengan muka datar dia tidak memberikan tepuk tangan kepadaku. Hati
yang sudah lega dan senang langsung berubah menjadi kesal lagi.
“Oke,
langsung aja ya. Biar cepet pulang. Saya tadi mendapat undangan untuk mengirim
lima orang anak untuk mengikuti lomba presenter tingkat kota yang disponsori
oleh tv lokal. Saya sudah melihat potensi kalian tadi dan saya sudah memutuskan
lima orang tersebut. Saya akan membacakan secara urut dari yang terbaik sampai
yang biasa-biasa saja. Pertama selamat untuk Putra, lalu Shelvia, Wempy, Rani
Jaelani, dan yang terakhir Agung. Untuk kelima anak tersebut nanti jangan
pulang dulu yang lain boleh pulang sekarang.” Pengumuman singkat yang membuat
aku terkejut.
“Perlombaan
akan dimulai minggu depan. Saya harap kalian belajar sungguh-sungguh. Tidak
alasan CAPEK untuk latihan, karena saya punya target salah satu dari kalian
untuk mendapat juara satu. Kita akan latihan setiap pulang sekolah mulai dari
Senin. Baiklah kalian boleh pulang,” briefing singkat dari Bu Chatrine.
Dalam perjalanan
pulang aku tidak habis pikir kenapa aku bisa terpilih dari lima perwakilan
sekolah untuk mengikuti lomba presenter itu. Padahal saat sesi latihan aku
selalu mendapat teguran dan bahkan tidak mendapat tepuk tangan dari Bu
Chatrine. Apa Bu Chatrine mau mengerjaiku agar aku terlihat jelek pada saat
perlombaan nanti. Hari Senin berlalu menjadi Selasa, Selasa berlalu menjadi
Rabu, Rabu pun berlalu menjadi Kamis dan seterusnya sampai bertemu hari Sabtu. Dalam
latihan tambahan seminggu ini, aku tidak menunjukkan progres bagus. Tentu saja,
setiap latihan aku selalu mendapat komentar yang jelek. Selain itu, sindiran
juga ditujukan kepadaku sehingga membuat aku menjadi tambah down. Aku semakin yakin bahwa Bu
Chatrine memang sedang balas dendam kepadaku.
Hari
perlombaan tiba semua peserta tampak percaya diri. Tapi entah mengapa aku tidak
merasakan ketegangan yang dahsyat, malah keteganganku ada pada saat sesi
latihan, karena harus bertemu dengan Bu Chatrine yang sudah bisa aku tebak
dengan komentar-komentarnya yang kurang puas dengan performance ku. Satu per satu peserta tampil dan tiba juga nomor
urutku dipanggil oleh pembawa acara tersebut.
Aku naik
panggung dengan modal pikiran yang terngiang-ngiang komentar dari Bu Chatrine.
Aku pun berlagak seperti seorang presenter profesional yang ingin membuktikan
kepada si kribo Bu Chatrine bahwa dia yang kalah. Aku tidak akan dipermalukan
dalam lomba ini, aku yang akan mempermalukan dia karena rencananya akan gagal.
Akhirnya aku pun menyelesaikan perlombaan itu. Tak kusangka aku mendapat tepuk
tangan yang sangat meriah dari juri dan penonton. Aku melihat ke arah Bu
Chatrine dan seperti yang kusangka, dia bukan tepuk tangan. Dia malah menangis.
Aku yakin dia merasa gagal karena tidak dapat mempermalukan aku di perlombaan
ini. Aku pun turun panggung dan langsung saja Bu Chatrine memelukku dan
berbisik.
“Selamat ya,
Gung. Kamu pasti dapat juara satu. Maaf selama ini saya melatihmu dengan keras
karena saya yakin kamu bisa menjuarai perlombaan ini karena kemampuanmu. Ibu
tidak mau kamu terbuai dengan pujian-pujian dari saya yang dapat melemahkan kemampuanmu.
Sekali lagi selamat,” bisikan yang bercampur air mata terasa di telingaku.
Aku terkejut mendengar bisikan itu. Perasaanku
pun bercampur aduk, bingung, kaget, senang, bangga bercampur menjadi satu. Jadi,
selama ini Bu Chatrine memberikan perhatian lebih kepadaku bukan kepada yang
lain. Sindiran, komentar jelek, raut muka tidak suka, dan tepuk tangan itu
adalah cara dia membentuk mentalku untuk mengikuti lomba ini. Di akhir acara
perlombaan, namakulah yang keluar sebagai juara satu presenter untuk kategori
SMP yang berhak membawa trophy besar dan hadiah lainnya. Kebanggan tersendiri
bagiku untuk dapat menyumbangkan trophy untuk sekolah dan Bu Chatrine sang
pelatihku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar