Sabtu, 20 Desember 2014

Cerpen Balas Dendam Kemenangan



Ini sebuah cerita pendek yang gua tulis berdasarkan pengalaman pribadi gua. Selamat membaca.....


Balas Dendam Kemenangan
Madiun 2008
Teet...teet...teet... bruk...bruk...bruk... suara bel sekolah dan suara langkah memecah keheningan sekolahku. Sabtu pagi yang seharusnya bisa pulang cepat memaksaku harus tinggal di sekolah untuk mengikuti ekskul. Teman-temanku yang tidak tergabung dalam ekskul berhamburan menuju parkiran sepeda atau menghampiri orang yang menjemput mereka.
                “Ayo Gung, langsung masuk aja biar cepat pulang.“ ajak Afif sambil menyeretku menuju kelas.
                “Iya bener, biar cepet pulang,“ jawabku sambil lari mengikuti seretan Afif.
                “Satu, dua, tiga, empat, lima......lima belas,” aku menghitung jumlah anggota ekskul.
                Aku di sekolah dipanggil dengan nama Agung. Aku adalah ketua ekskul presenter di SMPN 5 Madiun. Semakin lama semakin berkurang anggota yang mengikuti ekskul ini. Memang ekskul yang aku ikuti ini terbilang baru dan tidak terkenal sehingga peminatnya sedikit. Pikiranku pun melayang membayangkan aku mengikuti ekskul lain yang lebih terkenal, basket misalnya atau pramuka. Dengan mengikuti ekskul ini aku akan lebih terkenal, secara anak basket pasti populer di sekolah. Pramuka juga begitu dengan banyak kegiatan aku pasti akan terkenal. Tiba-tiba lamunanku buyar ketika ada suara seseorang yang membuka pintu kelas.
                “Kreeek........” suara pintu berdecit.
                “Selamat pagi menjelang siang anak-anak.“ sapa wanita berambut kribo yang bernama Bu Chatrine.
                Bu Chatrine merupakan pengajarku. Seperti biasa ekskul dimulai dengan latihan nafas dan vokal. Semua anak di ruangan ini mengikuti semua instruksi dari Bu Chatrine. Ada yang lucu dengan Bu Chatrine, dia memiliki badan yang cukup berisi dengan rambut yang kribo, tapi tertata rapi serta tahi lalat yang  terletak menghiasi hidungnya. Walaupun demikian, dia tetap terlihat menarik dengan make up yang sederhana.
                “A a a a  i i i i  u u u u  e e e e  o o o o!” suara dari teman-temanku mengikuti Bu Chatrine. Aku hanya mengikuti latihan nafas dan vokal dengan malas-malasan karena pada hari itu aku benar-benar tidak sedang mood mengikuti ekskul. Bu Chatrine menyadari dan mengahampiriku.
“Mas, kamu kenapa? Nggak suka dengan ekskul ini?Silakan saat ini kamu keluar tidak apa-apa, kok. Tidak akan ada yang menahanmu. Silahkan kalau mau mencari ekskul yang lain yang lebih cocok dengan kamu,” sindir Bu Chatrine kepadaku.
                “Nggak, Bu saya lagi capek aja,” jawabku sigap.
                “Ooo, capek? Semua di sini juga capek kok, saya apalagi. Habis siaran radio terus dateng ke sini. Habis dari sini saya harus balik lagi ke radio untuk siaran lagi dan baru pulang ke rumah nanti habis magrib. Capek mana?” jawab Bu Chatrine kesal.
                Semua teman-temanku melihat ke arahku. Betapa malunya aku disindir habis-habisan oleh si kribo itu. Seperti biasa aku dan teman-temanku mengambil gulungan-gulungan kertas yang berisi sebuah tulisan yang menjadi tema untuk praktik. Aku pun mengambil dan membuka gulungan kertas yang sudah kupilih. “Acara Talkshow“ adalah isi dari gulungan kertas itu. Dalam hatiku aku tertawa senang, aku pasti bisa tampil bagus dengan tema ini. Seperti biasa Bu Chatrine memberikan waktu satu jam untuk membuat poin-poin acara. Dalam waktu setengah jam aku sudah selesai membuatnya. Aku menengok ke arah teman-temanku yang sedang bingung mencari ide. Satu jam berlalu dan saatnya untuk perform di hadapan Bu Chatrine. Satu per satu temanku dipanggil dan hanya tersisa aku yang terakhir. Aku berpikir bahwa Bu Chatrine sengaja menaruhku di urutan paling belakang untuk balas dendam.  Akhirnya giliranku datang juga. Kondisi yang kurang mood dan ditambah kesal karena diskriminatif aku pun perform dengan seadanya.
                “Prok...prok...prok...,”tepuk tangan dari temanku. Aku sangat lega mendapat tepuk tangan dari temanku yang aku simpulkan bahwa aku memberikan perform yang bagus. Seketika aku melihat ke Bu Chatrine, dengan muka datar dia tidak memberikan tepuk tangan kepadaku. Hati yang sudah lega dan senang langsung berubah menjadi kesal lagi.
                “Oke, langsung aja ya. Biar cepet pulang. Saya tadi mendapat undangan untuk mengirim lima orang anak untuk mengikuti lomba presenter tingkat kota yang disponsori oleh tv lokal. Saya sudah melihat potensi kalian tadi dan saya sudah memutuskan lima orang tersebut. Saya akan membacakan secara urut dari yang terbaik sampai yang biasa-biasa saja. Pertama selamat untuk Putra, lalu Shelvia, Wempy, Rani Jaelani, dan yang terakhir Agung. Untuk kelima anak tersebut nanti jangan pulang dulu yang lain boleh pulang sekarang.” Pengumuman singkat yang membuat aku terkejut.
                  “Perlombaan akan dimulai minggu depan. Saya harap kalian belajar sungguh-sungguh. Tidak alasan CAPEK untuk latihan, karena saya punya target salah satu dari kalian untuk mendapat juara satu. Kita akan latihan setiap pulang sekolah mulai dari Senin. Baiklah kalian boleh pulang,” briefing singkat dari Bu Chatrine.
                Dalam perjalanan pulang aku tidak habis pikir kenapa aku bisa terpilih dari lima perwakilan sekolah untuk mengikuti lomba presenter itu. Padahal saat sesi latihan aku selalu mendapat teguran dan bahkan tidak mendapat tepuk tangan dari Bu Chatrine. Apa Bu Chatrine mau mengerjaiku agar aku terlihat jelek pada saat perlombaan nanti. Hari Senin berlalu menjadi Selasa, Selasa berlalu menjadi Rabu, Rabu pun berlalu menjadi Kamis dan seterusnya sampai bertemu hari Sabtu. Dalam latihan tambahan seminggu ini, aku tidak menunjukkan progres bagus. Tentu saja, setiap latihan aku selalu mendapat komentar yang jelek. Selain itu, sindiran juga ditujukan kepadaku sehingga membuat aku menjadi tambah down. Aku semakin yakin bahwa Bu Chatrine memang sedang balas dendam kepadaku.
                Hari perlombaan tiba semua peserta tampak percaya diri. Tapi entah mengapa aku tidak merasakan ketegangan yang dahsyat, malah keteganganku ada pada saat sesi latihan, karena harus bertemu dengan Bu Chatrine yang sudah bisa aku tebak dengan komentar-komentarnya yang kurang puas dengan performance ku. Satu per satu peserta tampil dan tiba juga nomor urutku dipanggil oleh pembawa acara tersebut.
                Aku naik panggung dengan modal pikiran yang terngiang-ngiang komentar dari Bu Chatrine. Aku pun berlagak seperti seorang presenter profesional yang ingin membuktikan kepada si kribo Bu Chatrine bahwa dia yang kalah. Aku tidak akan dipermalukan dalam lomba ini, aku yang akan mempermalukan dia karena rencananya akan gagal. Akhirnya aku pun menyelesaikan perlombaan itu. Tak kusangka aku mendapat tepuk tangan yang sangat meriah dari juri dan penonton. Aku melihat ke arah Bu Chatrine dan seperti yang kusangka, dia bukan tepuk tangan. Dia malah menangis. Aku yakin dia merasa gagal karena tidak dapat mempermalukan aku di perlombaan ini. Aku pun turun panggung dan langsung saja Bu Chatrine memelukku dan berbisik.
                “Selamat ya, Gung. Kamu pasti dapat juara satu. Maaf selama ini saya melatihmu dengan keras karena saya yakin kamu bisa menjuarai perlombaan ini karena kemampuanmu. Ibu tidak mau kamu terbuai dengan pujian-pujian dari saya yang dapat melemahkan kemampuanmu. Sekali lagi selamat,” bisikan yang bercampur air mata terasa di telingaku.
 Aku terkejut mendengar bisikan itu. Perasaanku pun bercampur aduk, bingung, kaget, senang, bangga bercampur menjadi satu. Jadi, selama ini Bu Chatrine memberikan perhatian lebih kepadaku bukan kepada yang lain. Sindiran, komentar jelek, raut muka tidak suka, dan tepuk tangan itu adalah cara dia membentuk mentalku untuk mengikuti lomba ini. Di akhir acara perlombaan, namakulah yang keluar sebagai juara satu presenter untuk kategori SMP yang berhak membawa trophy besar dan hadiah lainnya. Kebanggan tersendiri bagiku untuk dapat menyumbangkan trophy untuk sekolah dan Bu Chatrine sang pelatihku.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar